Tuntutan Pencabutan Perjanjian Kompromi dengan Israel

Anggota parlemen Yordania menuntut pencabutan kesepakatan perdamaian tahun 1994 dengan rezim Zionis Irael. Tuntutan tersebut disampaikan dalam sebuah pernyataan pada hari Sabtu, 25 Agustus 2018.
Dalam pernyataan itu, anggota parlemen Yordania mengungkapkan menentangan terhadap pengutusan duta besar baru negara mereka ke Palestina pendudukan (Israel). Mereka menegaskan, pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke al-Quds melanggar posisi Yordania mengenai status kota ini.
Penentangan anggota parlemen Yordania tehadap keputusan dan pemindahan kedubes AS ke al-Quds menunjukkan peningkatan protes opini publik regional terhadap kebijakan Washington.
Kebijakan AS tersebut telah memberikan lampu hijau kepada rezim Zionis Israel untuk memperluas kebijakan ekspanisonismenya, terutama di al-Quds dalam kerangka rencana konspiratif baru yang dikenal dengan "Kesepakatan Abad."
Berdasarkan prakarsa "Kesepakatan Abad", Baitul Maqdis diserahkan kepada Israel dan pengungsi Palestina tidak memiliki hak untuk kembali ke tanah kelahirannya. Selain itu, rakyat Palestina juga hanya bisa memiliki sebagian kecil tanah yang masih tersisa di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Di sisi lain, sumber-sumber pemberitaan mengabarkan tuntutan pemerintah Amman untuk penempatan duta besar baru Yordania di Tel Aviv. Menurut surat kabar Rai al-Youm, radio Israel mengutip sumber-suber Yordania memberitakan bahwa pemerintah Amman menuntut Tel Aviv agar menerima Ghassan al-Majali sebagai Dubes Baru Yordania untuk Israel. Bulan lalu, periode lima tahun misi diplomatik Dubes Yordania untuk Israel Walid Obeidat telah berakhir dan al-Majali ditunjuk sebagai penggatinya.
Para pejabat Yordania adalah pelopor proses kompromi dengan rezim Zionis, di mana Yordania menjadi negara kedua setelah Mesir yang secara resmi menjalin hubungan politik dan ekonomi dengan Israel. Perjanjian-perjanjian kompromi antara Otorita Ramallah dan sejumlah pemerintahan Arab seperti Yordania dan Mesir dengan rezim Zionis tidak pernah mendapat sambutan dan penerimaan dari masyarakat, bahkan kesepakatan itu tidak memiliki tempat di kalangan masyarakat. Namun para pejabat Amman terus melangkah dan memperluas hubungan dengan Israel tanpa mempedulikan tuntutan rakyat.
Raja Yordania sebelumnya Hussen bin Talal menandatangai perjanjian perdamaian dengan Israel. Raja sekarang, Abdullah II dan putra Hussein bin Talal juga melanjutkan komitmen dalam perjanjian tersebut. Perjanjian itu juga mencakup bidang perdagangan dan komersial yang ditandatangani pada tahun 1995. Atas dasar perjanjian ini, Yordania telah menjadi salah satu importir besar produk-produk Israel.
Komite Populer Anti-Normalisasi Hubungan dengan Israel di Yordania selalu memperingatkan rencana konspiratif dari normalisasi hubungan rezim Zionis dengan negara-negara Arab. Menurut komite ini, tujuan dari normalisasi itu adalah untuk perluasan dominasi Israel di kawasan.
Seorang aktivis Yordania menyebut kesepakatan perdamaian dengan Israel sebagai faktor utama persoalan di negaranya. Hadi Fakhouzah, anggota Komite Eksekutif Anti-Normalisasi Hubungan dengan Israel menilai kesepakatan Wadi Araba yang ditandatangani Yordania dan Israel sebagai faktor utama persoalan rakyat Yordania.
Jamil al-Namri, aktivis politik dan partai Yordania dalam wawancara dengan surat kabar al-Arab al-Yawm mengatakan bahwa perjanjian kompromi Wadi Araba tidak membawa perdamaaian, namun syarat yang ada dalam perjanjian ini justru telah mengikat tangan dan kaki Yordania dan memberikan keleluasaan bagi kebijakan Israel untuk melanjutkan penindasannya terhadap rakyat Palestina.
Kini rakyat Yordania menuntut pencabutan perjanjian kompromi dengan rezim Zionis dan pemutusan hubungan dengan rezim penjajah al-Quds ini. Perkembangan ini terjadi menyusul dampak negatif dari proses kompromi dengan rezim Zionis.
social pages
instagram telegram twiter RSS